Kamis, 10 Februari 2011

UANG ATAU ILMU?; Melongok Fenomena Kapitalisasi Pendidikan

Hidup di dunia dan di masa yang sangat bergantung dengan uang memang bukan hal yang mudah. Semua menganggap segala hal wajar. Wajar merampas hak milik orang lain, wajar untuk korupsi, wajar berangkat pagi pulang larut malam untuk menghasilkan rupiah, bahkan menjual kehormatan juga di anggap wajar. Semua kewajaran tersebut sungguh sangat menyimpang dari substansi manusia sendiri karena yang pantas dianggap wajar adalah dalam berbuat kesalehan baik yang bersifat spiritual, sosial, maupun intelektual.
           
Disorientasi Pendidikan
Bias dari kewajaran tersebut, semua orang dewasa ini menggunakan segala cara untuk menghasilkan uang. Tidak luput, pendidikanpun dijadikan objek dari ambisi tersebut. Ambisi yang hanya bertujuan mendapatkan limpahan materi belaka. Ambisi yang sama sekali tidak bertujuan merubah sang murid untuk dijadikan lebih baik tapi malah bertujuan merubah dirinya sendiri yang asalnya kekurangan menjadi bergelimangan rupiah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ruh dan jiwa dari pendidikan kita adalah uang. Fenomena di sekitar kita menunjukkan bahwa yang mencari uang lewat pendidikan bisa bersifat individu maupun kolektif. Ironis sekali ketika pendidikan menghalalkan segala cara untuk menghasilkan uang. Seperti jual beli ijazah aspal (asli tapi palsu). fenomena ini kerap kita jumpai pada waktu-waktu menjelang pemilihan baik itu pemilihan Bupati, DPR, DPD, bahkan Kepala Desa. Tuntutan harus punya ijazah seperti ijazah SMA dan S1 membuat para calon berani bayar berapapun. Pendidikan seakan-akan dijadikan ladang -dalam hal ini murid sebagai benihnya- untuk melancarkan misinya yakni dengan mendapat bantuan dari pemerintah. Siswa tidak dijadikan subjek untuk dipintarkan melainkan dijadikan objek untuk mempermulus proyek mereka.
 Pendidikan seakan-akan memang sudah diproyeksikan untuk dijadikan sumber pokok untuk menghasilkan uang. Jangan heran bila sekolah favorit yang menyediakan bayaran yang tinggi bagi pengajarnya banyak dilamar olehpara calon tenaga pengajar. Lain halnya dengan sekolah yang pas-pasan, sekolah pinggiran dan sekolah yang hanya mampu membayar sedikit, maka sekolah tersebut akan sepi pelamar untuk jadi guru. Kalau begitu, bisa ditebak, sekolah yang mampu bayar mahal dan yang mampu memberi fasilitas mewah pada pengajarnya, maka sekolah tersebut akan mendapatkan guru berkualitas. Sedangkan sekolah yang miskin dan membertikan fasilitas yang pas-pasan kesulitan untuk mendapatkan guru yang berkualitas.
Hingga saat ini, sekolah berkualitas memang identik dengan biaya yang tinggi. Guru berkualitas mahal. Fasilitas pendidikan yang memadai juga membutuhkan biaya yang tidak murah. Untuk mendapatkan itu semua, murid harus menanggung costnya dengan membayar mahal. Dengan demikian, sekolah yang berkualitas dan berfasilitas lengkap hanya dapat di akses oleh para keluarga berada di daerah perkotaan. Sedangkan orang yang kurang mampu hanya dapat belajar di sekolah yang “ecek-ecek”. Gara-gara uang anak desa dan orang miskin dimarginalkan dalam pendidikan.   Di sini tampak ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan.
            Jangan sekali-kali kita bermimpi untuk memperbaiki pendidikan kita yang carut marut ini. Antara kurikulum dan apa yang diujikan pada ujian akhir saja tidak ada korelasi sama sekali. UAN seperti menjadi lembaga yang terpisah dari sekolah karena mengabaikan keunikan yang terdapat pada setiap sekolah di daerah yang berbeda. Pun mengabaikan kenikan setiap peserta didik yang  dianugerahi talenta yang berbeda. Pendidikan kita pun terus tertinggal di bawah negara lain.
            Di sinilah terlihat orientasi pendidikan yang tidak jelas, bahkan sampai ke tingkat kebijakan negara. Negara yang semestinya menfasilitasi pendidikan agar dapat berkembang dan dapat diakses oleh seluruh warga negara tanpa memandang kelas sosial ekonomi, justru memasung kreatifitas dan menyuburkan kapitalisasi pendidikan.
           
Melacak Kembali Ruh Pendidikan
Imam Al-Ghazali dalam ihya’ menerangkan bahwa ulama buruk (ulama’ suu’) adalah orang yang orientasi akhirnya adalah kenikmatan dunia. Ilmu menjadi instrumen di bawah kendali kuasa hasrat. Dalam bahasa Gramsci, ulama yang demikian senafas dengan intelektual tukang; pengabdian bukan diarahkan pada transformasi sosial melainkan pada kelas borjuis. Sang Hujjatul Islam lebih lanjut menyatakan sosok yang demikian paling disiksa dihari kiamat nanti. Ditegaskan juga, demikian Imam Hasan, ulama’ di siksa karena redupnya hati dan redupnya hati itu karena mencari dunia lewat amal akhirat. Sudah jelas para ulama’ sufi dahulu kala sangat tidak setuju dengan kapitalisasi pendidikan karena substansi dari pendidikan sendiri adalah memanusiakan manusia bukan malah menguangkan manusia.
            Hakekat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan mengubah manusia yang mulanya bodoh jadi pintar, yang mulanya kurang ajar menjadi terpelajar dan mempunyai etika dan keimanan  yang kokoh. Singkatnya, pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia dan sebagai pengubah dari hal yang buruk menuju kearah yang lebih baik. Semua hal tersebut bisa tercapai apabila stakeholder dalam pendidikan, utamanya guru, bisa mendidik dan mengajar siswanya ke arah yang lebih baik. Tidak cukup mendidik dan mengajar saja, guru harus bisa menjadi uswah bagi siswanya. Syair arab menyebutkan: kaifa yastaqimu al-dzillu wa al’udu a’waj? Bagaimana bayangan bisa lurus  bila tongkat yang menimbulkan bayangan bengkok? Ya…. Bagaimana guru bisa memperbiki murid apabila gurunya sendiri kacau dan bernaluri kapitalis. Bukan hanya guru yang harus berbenah, kurikulumpun harus di rombak total.
Kurikulum yang kita rasakan ini tidak ubahnya kurikulum militer yang harus memenuhi target UAN dengan bagaimanapun caranya. Dewasa ini, keberhasilan pendidikan dinilai dari keberhasilan dalam UAN tanpa menghiraukan apakah anak didiknya menjadi mafia jalanan, sama sekali tidak saleh baik dalam kontek sosial maupun spiritual. Mereka masih merasa bangga meski anak didiknya tidak taat beribadah dan tidak saleh dalam tatanan sosial. Yang ada di benak mereka adalah bagaimana anak didiknya lulus UAN dan dapat nilai bagus, bagaimanapun caranya.
Penulis berpendapat, untuk memperbaiki pendidikan kita harus memurnikan kapitalisasi dalam pendidikan dan pihak pendidikan sepatutnya tidak memilah-milah ilmu, baik itu ilmu agama maupun umum. Karena Islam sendiri menganut sistem keseimbangan dalam hidup dalam artian melakukan hal yang terbaik untuk dunia dan melakukan yang terbaik juga untuk akhirat. Kalangan sufi pernah menuturkan ”lakukan untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan lakukanlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”. Penulis berpandangan tidak ada cara lain untuk melakukan yang terbaik kecuali dengan mempelajari ilmu dengan sepenuh hati, baik itu ilmu dunia dan akhirat.
Oleh karena itu penulis sangat mendukung sekali dengan didirikannya SMK di pesantren RU I, karena penulis menilai pendidikan tersebut out put-nya tidak hanya menjadikan santri yang berwawasan agama saja melainkan juga membekali para santri dengan ilmu teknologi. Karena menurut pandangan penulis lebih baik menjadi ulama yang tidak malu-malu bekerja di bengkel elektronik dan bahkan menjadi petani dari pada menjadi ulama yang hanya berpangku tangan menunggu tamu yang rela memberi uang padanya. Kalau kita fikir ulang, adanya SMK sungguh langkah yang pontensial untuk mengurangi ulama’ suu’ di dunia ini, bukan?.

1 komentar: