Jika kau siapa
Maka Kau bukan apa-apa
Jika kau siapa
Pasti Kua bukan apa-apa
Karena kau toch Cuma manusia………
Pada rubrik pembaca Harian kompas terekspresi nada kesal. Dicurhatkan seorang Menteri –entah siapa—marah ketika terkana protap standar Bandara. Tampak merasa diremehkan. Menteri kok dicurigai, kira-kira begitu pikirnya. Jelas terlihat bersikap Mentang-mentang. Kemarahan meledak, sambil menanyakan nama petugas. Seorang Perempuan, petugas bandara yang berusaha profesional, salah tingkah. Sang Ajudan bingung bersikap. Aneh bukan.
Begitulah sekemulit gambaran ketika seseoang lebih menonjolkan “keapaannya” dari pada “kesiapaannya”. “keapaan” adalah atribut dunia. Dia akan bermakna jika sejalan dengan “kesiapaan” yang menjadi hakekat. “Apa” adalah lekatan yang mencerminakan fungsi terapan. Pendeknya merupakan identitas kedua manusia.
Identitas kedua manusia adalah fana. Bukan segalanya. Ketingginan kemulyaan manusia bukan tidak tersandarkan padanya. Ketinggian identitas kedua adalah konstruk. Bukan untuk dibanggakan. Sebaliknya dijalankan dengan amanah.
Jika anda dokter. Dokter adalah “keapaan” yang anda sandang. Demikian juga Presiden., kyai, ustadz, menteri, pedagang, petani dan lainya. Perjumpaan “keapaan” terbingkai moralitas dunia yang arbitrer. Dan yang pasti kalau tidak hati-hati penuh jebakan nafsu.
**
Jebakan nafsu. Inilah yang berbahaya. Pertemuan manusia yang terbingkai “keapaannya” bisa jadi bukan pertemuan ketulusan. Para Bupati akan takut tidur dihadapan Presiden lagi walaupun terkantuk hebat. Ketabahan untuk tidak tidur mungkin bukan ketulusan.
Ketulusan lahir dari perjumpaan “kesiapaan”. Seorang pejabat yang menonjolkan “kesiapaannya” tidak akan menuntut dilayani rakyatnya. Justru berkorban dan menjadi pelayan rakyat dengan kesungguhan. Kesadaran terhadap “kesiapaan” membuatnya rendah diri dan tahu diri.
Krisis identitas inilah yang sekarang menjadi penyakit kronis di negeri ini. Seolah banyak orang berlomba menonjolkan “keapannya” untuk memperoleh kesenangan duniawi. Kemanusiaannya diperbudak “keapaannya”. Yang tragis hal ini sudah merambah tokoh agama. Bukankah sekarang banyak Ulama tereduksi kemanusiaanya ?.
“Kita kan pejabat mestinya dilayani dong”. “Kita kan dewan yang terhormat masak dilecehkan oleh SLANK”. “Kitakan para ulama mereka harus tunduk pada kita, kalau enggak bikin partai baru saja”. Asumsi-asumsi “keapaan” yang penuh nafsu. Maka tidak aneh jika saat ini “keapaan” hanya jadi komoditas. Pemuas nafsu. “keapaan” adalah start dan finish kehidupan mereka.
**
Karena menjadi komoditas yang menghadirkan kenikmatan dunia, “keapaan” menjadi tujuan. Seluruh energi hidup diarahkan mengejar identitas kedua. Kemudian berhenti. Terusnya “keapaan’ menjadi tentara yang melayani rajanya yang berbentuk keinginan-keinginan duniawi. Yang mendapat kekuasaan digunakan untuk kenyamanan pribadinya. Yang punya wibawa menggenggam hati orang lain untuk dengan sukarela dan kepasrahan melayaninya.
Karenanya, “keapaan” juga mengenal trend. Ketika Ulama menjanjikan, berbondong orang ingin disebut ulama. Ketiga guru menggiurkan, tak terbayangkan profesi yang dahulu sarat dengan keikhlasan kini menjadi rebutan. Yang paling membahayakan jika semua itu bersembunyi dibalik nilai-nilai keluhuran.
Kepalsuan ini adalah racun. Ia sudah merasuk akut dalam budaya , tata dan sistem sosial kita. Mulai dari pendidikan kita yang telah menjadi berhala. Sistem ekonomi dengan logika untung rugi. Politik yang oligarki. Pendeknya, Budaya dan tata sosial kita yang tidak memberi tempat pada rasa kemanusiaan.
**
Teringat Nabi. Meski dijamin masuk syurga, beliau tetap beristighfar minimal 70 kali sehari. Kenabian yang merupakan “keapaan” yang melekat pada diri Nabi tidak mereduksi “kesiapaannya” sebagai hamba Allah.
Mari sejenak kita lepaskan “keapaan” kita. Kembali ke fitrah menjadi manusia. Menyapa sesama dengan kemanusiaan kita. Dengan ketulusan dan bukan dengan kepalsuan. Wallahu a’lam bi asshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar