Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum Muslim, orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”.
Di satu sisi ada kelompok yang lebih mengutamakan kesalehan ritual, di sisi lain ada sebagian lagi yang mengutamakan kesalehan sosial.
Untuk merespon hal semacam ini kami tim Redaksi Buletin Amanah News mencoba merumuskan kesalehan sosial dengan menyarikan hasil wawancara dengan Bapak Agus Sunyoto, pendiri sekaligus pengasuh pondok Global di daerah Malang Utara. Berikut hasil wawancara kami dengannya.
Kesalehan adalah islam itu sendiri, karena agama islam sendiri adalah agama yang menyemesta, agama yang menganjurkan untuk menjadi manfaat bagi siapa saja, agama yang menanamkan nilai-nilai kesosialan, yang perioritasnya adalah kesejahteraan sehingga banyak anjuran-anjuran tentang kesalehan baik itu dalam al quran maupun al hadis. Jadi Idealnya agama yang menyemesta itu adalah agama yang meliputi kesemuanya baik itu ritual maupun social, bukan seperti yang sekarang ini..! seolah-olah dalam islam ada dua macam kesalehan, ritual vs social. Padahal tolak ukur kesalehan itu bukan hanya dari ritualnya saja ataupun kesosialannya tetapi meliputi kesemuanya karena disaat nilai-nilai keritualan mulai meresap pada diri seseorang disitu nilai-nilai kesosialan akan tumbuh. Dalam al-Quran, orang yang mendustakan agama juga meliputi dua bidang tersebut (kesalehan ritual dan kesalehan sosial), yaitu dalam surat al-Ma’un (1-6).
Oleh karena itu konsep kesalehan sendiri sangat berhubungan erat dengan dimensi ketauhidan, yang inti dasarnya adalah Meng-Esakan ALLOH juga pembebasan (membebaskan) dari segala bentuk kedholiman. Jadi, sangat jelas bahwa islam benar-benar agama yang menyemesta yang tidak hanya menganjurkan Hablum Minalloh melainkan juga meliputi Hablum Minannas. Dengan kata lain, di balik ritual tersimpan kepekaan sosial yang dianjurkan atas diri kita (ummat islam). Inilah islam, agama yang menyemesta yang sejatinya merupakan konsep dari kesalehan itu sendiri.
Adapun sekarang banyak orang memilah-milah kesalehan, antara ritual dan sosial, itu lebih karena kurangnya penanaman nilai-nilai penting dalam islam khususnya dalam segi kesosialannya. Dapat dikatakan kalau Islam sekarang ini telah kehilangan peran sosialnya, peran yang sangat identik sekali dengan agama yang menyemesta ini. Contoh konkritnya dapat kita lihat pada Islam di zaman dulu dengan yang sekarang, terdapat perbedaan yang sangat jelas terutama dalam peran sosialnya. Dulu, menjelang hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri atau Idul Adha, juga hari-hari besar lainnya, semua harga kebutuhan pokok diturunkan dari hari-hari biasanya, sehingga dapat mempermudah ummat Islam untuk beribadah. Sekarang malah sebaliknya, ada kecenderungan untuk mencari keuntungan dalam peribadahan. Agama, bahkan ibadah ritualnya, telah menjadi komoditas yang menguntungkan. Contohnya dalam pelaksanaan ibadah haji. Umroh di luar musim haji hanya membutuhkan sebelas juta rupiah untuk kategori plus dengan pelayanan dan fasilitas serba mewah. Ketika musim ibadah haji, yang kategori biasa saja sekitar dua puluh lima juta! Sedangkan yang Plus mencapai dua kali lipatnya! Bisa dibayangkan berapa rupiah yang menjadi keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Tidak mengherankan jika Departemen Agama, sebagai lembaga negara yang menjadi pelaksana ibadah haji, adalah departemen terkorup di negeri kita ini.
Jadi, sekarang ini agama bisa dikatakan telah dijadikan sebagai religionomic (religion-economic). Sekarang banyak lembaga-lembaga yang berlabelkan Islam bermunculan, juga banyak istilah-istilah Islam yang digunakan, namun pada hakikatnya hanya sebatas penguntungan peribadi saja. Nilai-nilai penting dalam Islam mulai ditinggalkan demi mendapatkan keuntungan peribadi. Dapat dipastikan juga ajaran yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan, seperti anjuran zakat fitrah atau zakat mal dalam Islam, sudah kehilangan ruhnya.
Tidak sebatas itu, negara yang berpenduduk mayoritas Islam memiliki potensi alam sangat berlimpah dibandingkan negara yang muslimnya minoritas. Islam juga sudah mempunyai ajaran yang jauh lebih baik. Hanya saja perealisasiannya kurang begitu maksimal, kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara non-muslim. Di Jerman, yang muslimnya minoritas, kebanyakan penduduknya menyisihkan hampir 48% dari penghasilanya untuk digunakan sebagai subsidi bagi rakyat lain yang nasibnya kurang beruntung atau sebagai subsidi untuk keperluan-keperluan sosial lainnya. Tanpa perlu pamer kesalehan sosial juga dengan pengelolaan subsidi yang baik, negara tersebut dapat mensejahterakan rakyatnya. Itulah negara minoritas Islam yang lebih dulu merealisasikan ajaran Islam dan terbukti bisa mensejahterakan rakyatnya. Silahkan pembaca membandingkan sendiri dengan kondisi riil di negeri kita yang dikenal sangat kaya sumber daya alam, berpenduduk mayoritas muslim tetapi masuk dalam jajaran negara termiskin dan terkorup. Imbasnya dapat kita lihat dengan nyata, yaitu meningkatnya angka kemiskinan, bertambahnya jumlah pengangguran, juga semakin besarnya tindak kriminal. Semua ini karena kurangnya kepedulian terhadap sesama juga kurangnya rasa kebersamaan. Hal ini diperparah lagi oleh sistem tatananan global yang serba menguntungkan Negara Pertama (negara maju).
Oleh karena itu, penting sekali penanaman kembali nilai-nilai luhur dalam Islam khususnya kesosialan agar masyarakat tidak lagi menomorsatukan kepentingan pribadi. Dengan demikian, muslim tidak lagi mengalami krisis jati diri. Untuk hal ini, sangat dibutuhkan peran para tokoh masyarakat, karena merekalah yang menjadi panutan masyarakat. Jangan hanya sekedar berpidato dan berkhotbah saja tetapi juga disertai dengan usaha perealisasian dari pidato dan khotbahnya tersebut. Besar harapan kalau agama Islam di negeri ini tidak hanya menjadi saksi sejarah dari puing-puing rakyat yang terjarah, melainkan menjadi solusi atas segala gerah demi terciptanya puing-puing maslahah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar