Kamis, 10 Februari 2011

Politik for Beginners

Politik? Apaan Tuh? Ngeri ah!
Bisa jadi demikian pandangan remaja terhadap politik, termasuk juga remaja santri. Tapi benarkah politik hanya bertujuan untuk mendapatkan materi dan kekuasaan? Nggak kok….. politik juga bisa dijalani dengan cara mulia plus tujuannya juga mulia.
Politik biasa diartikan sebagi seni untuk memperoleh dan mengelola kekuasaan. Karena politik adalah seni, maka ia pun mirip dengan seni pada umumnya yaitu ada seni yang bermutu atau kelas tinggi dan seni yang ra mutu  atau kelas rendahan misalnya seni porno. Politik yang bermutu adalah politik kelas tinggi. Politik kelas tinggi bukan berarti politik yang dilakukan oleh orang-orang besar atau yang ber-uang dan berkuasa. Politik kelas tinggi adalah politik yang dilakukan secara profesional dalam arti jujur, bersih, memperjuangkan tujuan yang jelas dan mulia serta menggunakan cara yang kreatif. Adapun politik yang ra mutu adalah politik yang orientasinya hanya materi, kehormatan dan kekuasaan. Karena tujuannya sudah ndak bener, biasanya cara yang ditempuh juga cara-cara kotor, seperti suap, sogok, kampanye hitam (kampanye yang menjelekkan lawan atau saingannya), dan sebagainya.
Tujuan mulia dalam berpolitik bisa sangat beragam tergantung dari ideologi yang diusung. Contohnya, Partai Demokrat di Amerika memperjuangkan kebebasan individu (liberal) sedangkan Partai Republik mempertahankan nilai-nilai lama (konservatif). Lalu bagaimana di Indonesia? Di masa reformasi ini, belum ada partai yang memiliki ideologi yang jelas. Tapi dalam Islam, kekuasaan itu jelas untuk menyejahterakan rakyat. Karena itu, upaya untuk memperoleh kekuasaan harus bertujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Berkuasa bukan berarti memperoleh fasilitas lebih tapi berkuasa artinya siap berkorban materi, waktu, tenaga bahkan jiwa demi memperjuangkan rakyat. Wuih berat ya ……
Ternyata, berpolitik tingkat tinggi tidak harus dengan memperoleh kekuasaan dulu. Karena itu, pada dekade 90-an dikenal istilah “politik arus atas” dan “politik arus bawah”. Politik arus atas adalah pandangan bahwa menyejahterakan rakyat harus dimulai dengan memegang kekuasaan. Tokohnya saat itu adalah Amin Rais yang dikenal dengan jargon reformasi (mengganti Soeharto sebagai presiden). Sedangkan politik arus bawah berpandangan bahwa untuk menyejahterakan masyarakat, yang perlu dilakukan adalah menguatkan masyarakat secara politik agar memiliki posisi tawar di hadapan negara. Penguatan masyarakat ini dapat dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi, pendidikan yang bermutu dan sebagainya. Tokohnya adalah Gus Dur (terlepas dari kenyataan bahwa pada akhirnya Gus Dur juga terjun ke arena politik arus atas).
Terlepas dari itu semua, ternyata individu itu tidak bisa lepas dari politik, lho. Manusia adalah “zoon politicon” makhluk berpolitik, tidak bisa menghindari politik. Sebuah ungkapan lain menyebutkan “Personal is political”. Ungkapan ini tidak hanya berarti bahwa setiap orang punya hak pilih dalam pemilu. So, Apa maksudnya? Artinya, setiap orang memiliki sikap yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan politik, juga sangat terimbas oleh kebijakan politik tertentu. Contoh, golput atau sikap tidak nyoblos. Golput adalah sikap pribadi. Ketika sekian ribu pribadi menyatakan golput, maka akan mempengaruhi keabsahan sebuah kekuasaan yang tercipta (proses perolehan kekuasaan dipertanyakan deh!). Atau, sikap pribadi untuk tidak membeli satu produk kosmetik. Memang seperti tidak berarti. Tetapi, jika sikap itu dimiliki oleh sekian ribu pribadi, pabrik kosmetik akan merugi besar atau bahkan tutup (Nah tuh, menteri industri dan perdagangan pasti kalang kabut mikirin tenaga kerja pabrik yang kehilangan pekerjaan). So, jangan remehkan setiap sikap pribadi! Contoh kecil lagi, kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM (ini artinya produk sebuah pengelolaan kekuasaan) telah membuat seorang ibu rumah tangga bunuh diri setelah sebelumnya membunuh anak-anaknya karena bingung bagaimana menghidupi anak-anaknya di tengah harga bahan pokok yang terbang tinggi.
Politik, bagaimanapun, sebuah bagian kehidupan yang sangat mempengaruhi hidup semua orang. Karena itulah politik menjadi penting untuk dipelajari (paling tidak diketahui), bahkan kalau mungkin dilakoni, asal untuk tujuan dan cara yang mulia. Terlebih lagi, pesantren mulai ikut berpolitik, so santri juga harus melek politik biar ndak jadi korban politik ra mutu

The Heart of Kesalehan, Kesalehan of Heart.


Bagaimana pandangan Bapak tentang konsep kesalehan dalam agama Islam ?

Bila ada anak yang baru lahir, kerabat dan teman sejawat biasanya  memberi selamat dan mendoakan agar menjadi anak saleh atau salehat. Namun apa maksudnya, kita semua--pemberi maupun penerima doa--- jarang memikirkannya. Mungkin inilah salah satu ‘tatanan’ yang sudah tidak bermakna (meaningless) karena sudah terlalu sering kita ucapkan. Ucapan ‘semoga menjadi anak yang saleh’ tidak lagi menggetarkan. Daripada ‘semoga menjadi anak soleh’ lebih baik kita doakan ‘semoga menjadi rahman dan rahim lahir batinnya’.
Menjadi rahman dan rahim itulah inti kesalehan dalam Islam. Menjadi rahman dan rahim artinya menjadi lembut, santun, sayang dan cinta kepada Allah, kepada rasulnya dan makhluk Allah. Makhluk Allah itu meliputi semua manusia—apapun latar belakang sosial dan agamanya--, tumbuhan, binatang dan lain-lain yang dikategorikan benda hidup serta batu, kertas, pensil, dan lain-lain yang dikategorikan benda mati. Itulah mengapa kita tiap hari mengucapkan bismillahi ar-Rahmani ar-Rahimi. Menyembah dan syukur pada Yang Maha Rahman dan Rahim agar pertama kita tidak menjadi penyedih karena yakin dengan Rahman dan Rahim Allah dan berikutnya mensifati rahman dan rahim itu dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ada yang  memilah antara kesalehan sosial dengan kesalehan ritual. Adakah dimensi yang menghubungkan antara keduanya? Bagaimana menjelaskan korelasi antara kesalehan sosial dengan konsep keimanan dan   ketauhidan?

Menjawab pertanyaan anda yang mendalam, lebih baik menggunakan perumampamaan. Metafor. Kalau pohon pisang dibelakang rumah kita tidak berbuah, tentu kita akan menebang dan menggantinya dengan yang baru. Demikian juga ibadah. Bila tidak berbuah, ibadah juga harus kita tebang, kita ganti yang baru. Apa buah ibadah: semakin menjadi rahman dan rahim. Artinya menjadi santun, penyayang, lembut hati, memahami perasaan orang lain, tidak mementingkan kepentingan sendiri, mengakui kesalahan dan peduli dengan masalah masyarakat agar yang lemah (mustadh’afun) bisa berdiri tegak, agar yang tidak mampu bersuara mampu mengatakan isi hatinya, agar yang sedih bisa gembira dan seterusnya.
Kalau hal seperti ini belum berbuah mungkin ada yang salah dengan ibadah kita. Apa sebab tidak berbuah karena bisa jadi pohon ibadah tidak ada akarnya. Kalau pohon berakar dibumi, ibadah akarnya di hati atau batin. Allah dalam al-Quran sering mengingatkan ‘celakalah orang yang beribadah namun hatinya lupa’. Artinya ibadah seharusnya menjadi aktivitas batin, bukan aktivitas lahir. Ibadah seperti itu harus diganti  bibit baru, yang ditanam dalam batin kita.
Jiwa ibadah seperti ini adalah keyakinan tidak pernah berpisah dari Allah. Kemanapun dimanapun dia akan merasa selalu bersama dan ‘melihat’ Allah. Buahnya seperti ini adalah sifat rahman dan rahim karena dirinya tidak pernah memandang dirinya lebih tinggi dari yang lain, peduli dengan masalah sekitarnya dan menjadi orang yang tenteram (mutmainnah) dan selalu gembira karena yakin dengan Rahman Rahim Allah. Inilah tauhid yang sebenarnya.
Selama belum ada sifat rahman rahim ini tauhid kita hanya tauhid-tauhidan saja. Kelihatannya saja tauhid, tapi dalamnya kosong. karena tauhidnya  tidak ada akarnya, maka tidak ada buahnya. Oleh karena itu dalam situasi seperti itu wajar, gembar-gembornya masyarakat Muslim, teriaknya Allahu Akbar, tapi korupsi merajalela.
Dalam konteks ketauhidan, pengibadah lahir---yang mungkin saja kita didalamnya---yang tidak peduli dengan masalah social tidak lebih baik dari mereka yang jarang beribadah, namun memiliki kepedulian sosial tinggi.

Di era globalisasi saat ini, apa saja yang yang musti diperhatikan oleh umat Islam agar ajaran tentang kesalehan sosial menemukan relevansinya ?

Dunia kita tempat hidup sudah berubah. Kalau jaman orang tua kita, TV hanya ada TVRI, sekarang ada puluhan stasiun TV. Kalau dulu telepon genggam barang mewah yang hanya dimiliki orang berduit, sekarang hape dimana-mana. Hape menjadi pertanda ketinggalan jaman atau tidak.
Disamping aspek positif seperti teknologi komunikasi yang semakin murah dan akses informasi yang semakin mudah, globalisasi juga menggandeng sejumlah dampak negative yang harus kita bayar mahal. Misalnya tambahnya kemiskinan, biaya hidup yang semakin mahal, suburnya konsumerisme, menurunnya solidaritas antar sesama dan semakin menguatnya fundamentalisme dalam beragama .
Semakin banyak orang susah, namun semakin sedikit yang semakin peduli. Dalam suasana seperti ini penegasan dan pengejawantahan sifat rahman dan rahim semakin relevan. Karena dengan menumbuhkan sifat dan sikap rahman rahim kita bisa mengatasi masalah solidaritas sosial di satu sisi dan masalah fundamentalisme agama di sisi lainnya. Dengan niat dan ikhtiar seperti ini diharapkan tercipta masyarakat yang rahman dan rahim.

Setujukah Bapak kalau hari ini,  bangsa kita yang mayoritas muslim tertinggal dan jauh dari kemakmuran ? Kalau setuju apa penyebabnya ?

Bangsa kita mundur karena kita—dalam kepemimpinan maupun pendidikan--- secara umum kurang menghargai pengalaman ‘manusia’ (an-Nas) yang unik. Manusia adalah makhluk Allah tertinggi dibanding bintang, binatang, bahkan malaikat karena dianugerahi akal, hati dan ruh. Akal membuat kita mampu berfikir, hati mencintai dan ruh dari Allah yang suci. Ketinggian kedudukan manusia ini ditegaskan berkali-kali dalam Islam diantaranya: membunuh satu manusia sama dengan membunuh semua manusia dan dalam riwayat Isra Mi’raj diceritakan Jibril tidak mampu lagi mengantarkan Muhammad menemui Yang Maha Kuasa. Artinya manusia mampu mencapai kedekatan dengan Allah yang tidak bisa dicapai malaikat. Oleh karena itu Allah memerintahkan kita menghargai setiap manusia—karena pengalaman unik mereka. Pengalaman yang inheren dengan kemanusiaan kita.
Akibatnya kita banyak menganggap yang dari tempat lain lebih baik, lebih modern. Kepemimpinan juga kurang menghargai pengalaman sosial, politik maupun ekonomi masyarakat yang dikelolanya. Asal kalau diambil dari barat pasti lebih baik.
Dalam hal keagamaan juga demikian. Keislaman hasil pengalaman bangsa kita yang lebih sesuai dengan budaya juga dianggap kurang islami. Kalau sudah diambil dari Timur Tengah dianggap lebih baik. Padahal keislaman yang tumbuh disini adalah keislaman yang tumbuh berkembang ditanah air adalah keislaman yang tumbuh dan berkembang dalam hati dan sanubari ulama kita terdahulu. Sedangkan hati dan sanubari yang tulus akan selalu mendapat hidayah dari Allah.
Pendidikan juga menganggap sumber pengetahuan adalah buku, sedangkan anak didik dianggap tidak mengerti apa-apa. Seperti gelas kosong yang harus diisi air. Padahal manusia berhutang pada anak-anak hal terbaik yang bisa mereka berikan. Padahal manusia—dengan batinnya—mampu menerima hidayah, pelajaran dan pemahaman dari Allah.
Akibat dari proses yang demikian, hati –pusat rasa keindahan dan kepedulian—menjadi mati.
  
Dan apa yang harus diperbuat umat Islam untuk mengaktualisasikan kesalehan sosialnya ?

Apa yang harus diperbuat? Mengaktualisasikan sifat dan mentalitas rahman dan rahim yang menjadi basis kepedulian social. Yang menjadi basis penghargaan terhadap pengalaman unik setiap manusia. Yang menjadi basis dari kemauan untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Ini akan menghidupkan hati. Ini akan menghidupkan kepedulian social.

Perlukah strategi perjuangan misi sosial saat ini harus menguasai institusi-institusi publik seperti negara dan lain-lain ?

Mungkin tidak perlu ndakik-ndakik seperti itu. Semuanya tergantung konteks dan situasi sosialnya. Kalau dalam  pilkada, ada kandidat yang bermisi sosial tinggi, kemudian didukung tentu bukan gagasan yang buruk. Juga sudah menjadi kewajiban kita untuk menyiapkan penerus masa depan dengan kemampuan leadership dan komitment social yang tinggi dalam pemerintahan maupun kemasyarakatan.
Namun melakukan sesuatu yang baik tidak perlu menuggu besok atau dengan yang besar-besar saja. Lakukan saat ini, dari diri sendiri, dari yang paling kecil dan dari yang sederhana. Disini. Sekarang juga dan Dari diri sendiri. Misalnya bagaimana menjadi rahman dan rahim terhadap diri sendiri, terhadap teman, terhadap keluarga. Dalam konteks globalisasi dan krisis moneter, kita bisa memberi contoh dan mendidik masyarakat agar hidup dari lingkungannya misalnya menghidupkan pekarangan dengan sayuran dan buah-buahan. Ini cara sederhana agar kesulitan ekonomi masyarakat semakin teratasi.

Menurut Bapak, siapa musuh utama umat Islam dalam menegakkan misi sosial saat ini?

Musuh umat Islam banyak sekali. Diantaranya, ini dikota-kota biasanya, sikap merasa paling benar dan selamat sendiri. Baru belajar syariat, seolah-olah sudah belajar Islam keseluruhannya. Padahal dari 6 ribuan ayat-ayat al-Qur’an, yang berkaitan dengan hukum hanya ratusan saja, tidak sampai seribu. Artinya mempelajari syari’at saja artinya baru belajar kurang dari 1/6 Islam.
Kedua, kalau ini didesa dan di kota, sikap mementingkan formalitas ibadah, terus bergerak dengan rutinitas itu dan marah bila dikritik. Terus berhaji, sementara anak tetangga makan sehari sekali bahkan tidak bisa bayar ongkos sekolah. Peduli social setahun sekali yaitu bayar zakat saja.
Musuh berikutnya adalah kebodohan, kemiskinan, cinta dunia, keserakahan, konsumerisme, pemerintahan yang tidak bertanggung jawab dan sebagainya.

Bagaimana ajaran Islam mendialektikan konsep kesalehan sosial  secara historis dan normatif ? Kemudian bagaimana cara menbaca sejarah tersebut ?

Muhammad adalah sosok yang lembut jiwa, hati dan tutur katanya. Pada beliau, sifat itu adalah buah dzikir dan cinta beliau pada Allah. Perintah ibadah adalah agar kita semakin cinta pada Allah, dan berikutnya cinta itu memancar pada semua makhluk Allah. Cinta pada mahluk yang seperti ini akan semakin menambah cinta pada Allah, bukan malah semakin menjauhkannya dari-Nya. Pembacaan dari sudut pandang lahir batin keagamaan seperti ini tidak ada kontradiksi.
 Zakat dianggap sebagai inti dari kesalehan sosial itu.. Pada masa beliau masih hidup zakat adalah sebuah konsep yang emansipatoris. Disaat semua tidak peduli, Rasul mengajarkan bahwa dalam harta kita ada hak-hak orang miskin, anak yatim dan sebagainya.
 Jauh setelah wafatnya beliau terutama setelah munculnya paham wahabi, yaitu paham yang mengutamakan  arti tekstual al-Qur’an, kedalaman seperti ini menjadi hilang. Maksud ditetapkannya zakat tidak lagi dianggap penting. Nah, kita harus memperhatikan maksud tujuan penetapan zakat itu, zaitu maqashid shari’ahnya. Ini sesuai dengan penegasan Rasul bahwa al-Qur’an mempunyai tujuh makna. Dan untuk mengetahui makna itu bukan hanya bertanya pada sejarah dan tafsir, tapi juga tanyakan pada hatimu, karena al-Qur’an iku jarene mbah-mbah mbiyen tombone ati. Panggonane al-Qur’an itu, oleh karenanya, dihati dalam pengertian yang seluas-luasnya. Bagaimana cara mengamalkan al-Qur’an secara keseluruhan? Mari berupaya menjadi rahman dan rahim.
Inilah inti atau the heart of kesalehan, dan kesalehan of heart. Disanalah kesalehan ritual dan kesalehan sosial berawal dan berakhir.
Penulis, Akti di GARDA BANGSA,
dan  sedang menyelesaikan S3 di Canberra Australia.
Interview ini melalui via e-mail.

PESANTREN DALAM BERPOLITIK

Kalau kita flashback ke zaman dulu tepatnya pada abad ke-16 M, kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah menjadi bukti bahwa pada 500 tahun lalu orang pesantren sudah melek politik. Pesantren dalam peranannya banyak mendapat ujian baik pada masa kolonial Belanda hingga zaman Orde Baru. Tapi pesantren tetap eksis baik sebagai lembaga pendidikan juga dalam berpolitik.  Pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan lembaga otonom yang mengacu pada kurikulum total institution, yang menurut pendapat Aving Guarmant berarti kurikulum yang mengasingkan atau menghindari intervensi dari pihak luar. Dengan kurikulum tersebut, pesantren justru menjadi menarik dan menjadi pendidikan alternatif yang cukup berhasil.
Sedangkan dalam dunia politik, peran pesantren sudah ditunjukkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai sekarang, pesantren —yang identik dengan NU-- sudah melakukan politik praktis semenjak kemerdekaan sampai sekarang, yang setidaknya terbagi dalam lima periode. Periode pertama (1945_1952) NU bergabung dengan Masyumi dan merupakan satu-satunya Partai Islam saat itu. Periode kedua (1952-1972) pasca muktamar di Palembang, NU menyatakan keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik tanpa mereduksi jati dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. Periode ketiga (1972-1984) NU menyatakan bergabung dengan PPP. Periode keempat (1984-1999) NU bermetamorfosis dengan kembali ke khittah. Periode (1999-sekarang) NU secara resmi membidani dan mendukung PKB.
NU dan pesantren memang telah melakukan politik praktis semenjak 60 tahun yang lalu, tapi belum pernah sekalipun menguasai pemerintahan Indonesia. Semenjak masa kolonial Belanda sampai masa Orde Baru pesantren dianaktirikan oleh pemerintah. Ini nampak jelas ketika Belanda menyebut pesantren sebagai “sekolah liar”. Pada zaman Orde Lama, pendidikan pesantren sama sekali tidak diakui oleh pemerintah. Dalam ranah politik pada zaman orde lama maupun orde baru, para kiyai selalu menjadi oposan pemerintah. Hal ini karena pesantren selalu  mendukung partai yang tidak berkuasa, baik pada masa partai masyumi, PPP dan bahkan sampai sekarang PKB.
Pesantren menurut Manferd Ziemek, seorang peneliti asal Jerman, merupakan sentral perubahan bidang pendidikan, politik, budaya, sosial dan keagamaan. Ini terbukti dari peran pesantren yang cukup dominan dalam mengkonsruk hal-hal tersebut. Yang menjadi pertanyaan dibenak kita, kenapa pesantren punya peran sentral tapi selalu termarjinalkan? Hal tersebut dapat teratasi apabila NU dan pesantren bisa memainkan peranan politik dalam negeri ini. Pesantren dan NU harus bisa menjadi pengayom bagi kaum ploretar yang akhir-akhir ini sangat jauh dari kesejahteraan dan keadilan. Penulis mengatakan kesejahteraan dan keadilan karena kedua hal tersebut merupakn inti dari politik. Kedua hal tersebut harus berjalan secara bersamaan, karena kesejahteraan tanpa keadilan merupakan ketimpangan, dan keadilan tanpa kesejahteraan berarti omong kosong.
Salah satu kaidah fikih menyebutkan “tashorruful imam alar roiyah manutun bil maslahah”. Jadi, kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan ummat yang dipimpinnya. Kalau penulis mencermati, pemimpin kita akhir-akhir ini sangat jauh sekali dari pertimbangan apakah kebijakan yang dibuatnya bermanfaat bagi rakyatnya.  Contoh kongkritnya adalah menaikkan dan menurunkan harga BBM karena pertimbangan politik citra.
Menyikapi hal tersebut, Pesantren dan NU harus menjadi agent of change dalam masalah politik yang semakin lama semakin hancur. Pimpinan-pimpinan kita hanyalah membuat candu bagi masyarakat dengan janji-janji manis diwaktu kampanye. Pesantren dan NU harus mempunyai long term politic (politik jangka panjang) untuk membenahi Negara kita ini. Warga pesantren dan NU, kalau penulis cermati, hanya menjadi imbas short term politic (politik jangka pendek) pihak-pihak tertentu untuk mendulang massa. Dalam beberapa kali pemilu, baik nasional maupun daerah,  warga pesantren dan NU hanya dijadikan objek untuk mendulang suara. Seharusnya warga pesantren dan NU yang mempunyai basis yang sangat kuat harus berani menjadi subyek dalam politik.
Pesantren dan NU yang merupakan representasi dari keagungan  ahklak dan kejujuran sudah selayaknya membuat perubahan dengan memainkan politik tingkat tinggi (high politics)yang setidaknya bisa terkonstruk dengan tiga komponen; pertama kekuasaan yang pada hakekatnya merupakan amanat dari masyarakat dan Tuhan untuk dipelihara sebaik-baiknya, kekuasaan seberapapun kecilnya harus dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan bersama. Kedua, kekuasaan bukan merupakan tujuan akhir dari sebuah politik, melainkan hanya washilah untuk menyejahterakan rakyat, dan akan dipertanggung jawabkan kelak dihadapan Alloh SWT. Ketiga, politik harus kita kaitkan erat dengan prinsip ukhuwah, yaitu persaudaraan sesama ummat manusia, menghindari gaya politik konfrontatif yang penuh dengan konflik dan memandang pihak yang lain adalah pihak yang harus dieliminasi. Yang sangat ironis adalah kenapa partai-partai yang punya ikatan batin yang erat dengan pesantren dan NU, yang seharusnya menjadi cerminan terkonsruknya kultur high politics, seringkali menjadi ajang konflik.
Sudah saatnya, melalui politik praktis kita orang-orang pesantren menjadi subyek untuk menyejahterakan rakyat yang selama ini jauh dari sejahtera. Karena itu, warga pesantren harus mempunyai long term politics yang jelas, cerdas, dan konsruktif dan tentunya juga transformatif.

JANGAN JADIKAN ISLAM SEBAGAI RELIGIONOMIC

Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum Muslim, orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”.
Di satu sisi ada kelompok yang lebih mengutamakan kesalehan ritual, di sisi lain ada sebagian lagi yang mengutamakan kesalehan sosial.
Untuk merespon hal semacam ini kami tim Redaksi Buletin Amanah News mencoba merumuskan kesalehan sosial dengan menyarikan hasil wawancara dengan Bapak Agus Sunyoto, pendiri sekaligus pengasuh pondok Global di daerah Malang Utara. Berikut hasil wawancara kami dengannya.

            Kesalehan adalah islam itu sendiri, karena agama islam sendiri adalah agama yang menyemesta, agama yang menganjurkan untuk menjadi manfaat bagi siapa saja, agama yang menanamkan nilai-nilai kesosialan, yang perioritasnya adalah kesejahteraan sehingga banyak anjuran-anjuran tentang kesalehan baik itu dalam al quran maupun al hadis. Jadi Idealnya agama yang menyemesta itu adalah agama yang meliputi kesemuanya baik itu ritual maupun social, bukan seperti yang sekarang ini..! seolah-olah dalam islam ada dua macam kesalehan, ritual vs social. Padahal tolak ukur kesalehan itu bukan hanya dari ritualnya saja ataupun kesosialannya tetapi meliputi kesemuanya karena disaat nilai-nilai keritualan mulai meresap pada diri seseorang disitu nilai-nilai kesosialan akan tumbuh. Dalam al-Quran, orang yang mendustakan agama juga meliputi dua bidang tersebut (kesalehan ritual dan kesalehan sosial), yaitu dalam surat al-Ma’un (1-6).
            Oleh karena itu konsep kesalehan sendiri sangat berhubungan erat dengan dimensi ketauhidan, yang inti dasarnya adalah Meng-Esakan ALLOH juga pembebasan (membebaskan) dari segala bentuk kedholiman. Jadi, sangat jelas bahwa islam benar-benar agama yang menyemesta yang tidak hanya menganjurkan Hablum Minalloh melainkan juga meliputi Hablum Minannas. Dengan kata lain, di balik ritual tersimpan kepekaan sosial yang dianjurkan atas diri kita (ummat islam). Inilah islam, agama yang menyemesta yang sejatinya merupakan konsep dari kesalehan itu sendiri.
            Adapun sekarang banyak orang memilah-milah kesalehan, antara ritual dan sosial, itu lebih karena kurangnya penanaman nilai-nilai penting dalam islam khususnya dalam segi kesosialannya. Dapat dikatakan kalau Islam sekarang ini telah kehilangan peran sosialnya, peran yang sangat identik sekali dengan agama yang menyemesta ini. Contoh konkritnya dapat kita lihat pada Islam di zaman dulu dengan yang sekarang, terdapat perbedaan yang sangat jelas terutama dalam peran sosialnya. Dulu, menjelang hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri atau Idul Adha, juga hari-hari besar lainnya, semua harga kebutuhan pokok diturunkan dari hari-hari biasanya, sehingga dapat mempermudah ummat Islam untuk beribadah. Sekarang malah sebaliknya, ada kecenderungan untuk mencari keuntungan dalam peribadahan. Agama, bahkan ibadah ritualnya, telah menjadi komoditas yang menguntungkan. Contohnya dalam pelaksanaan ibadah haji. Umroh di luar musim haji hanya membutuhkan sebelas juta rupiah untuk kategori plus dengan pelayanan dan fasilitas serba mewah. Ketika musim ibadah haji, yang kategori biasa saja sekitar dua puluh lima juta! Sedangkan yang Plus mencapai dua kali lipatnya! Bisa dibayangkan berapa rupiah yang menjadi keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Tidak mengherankan jika Departemen Agama, sebagai lembaga negara yang menjadi pelaksana ibadah haji, adalah departemen terkorup di negeri kita ini.
         Jadi, sekarang ini agama bisa dikatakan telah dijadikan sebagai religionomic (religion-economic). Sekarang banyak lembaga-lembaga yang berlabelkan Islam bermunculan, juga banyak istilah-istilah Islam yang digunakan, namun pada hakikatnya hanya sebatas penguntungan peribadi saja. Nilai-nilai penting dalam Islam mulai ditinggalkan demi mendapatkan keuntungan peribadi. Dapat dipastikan juga ajaran yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan, seperti anjuran zakat fitrah atau zakat mal dalam Islam, sudah kehilangan ruhnya.
            Tidak sebatas itu, negara yang berpenduduk mayoritas Islam memiliki potensi alam sangat berlimpah dibandingkan negara yang muslimnya minoritas. Islam juga sudah mempunyai ajaran yang jauh lebih baik. Hanya saja perealisasiannya kurang begitu maksimal, kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara non-muslim. Di Jerman, yang muslimnya minoritas, kebanyakan penduduknya menyisihkan hampir 48% dari penghasilanya untuk digunakan sebagai subsidi bagi rakyat lain yang nasibnya kurang beruntung atau sebagai subsidi untuk keperluan-keperluan sosial lainnya. Tanpa perlu pamer kesalehan sosial juga dengan pengelolaan subsidi yang baik, negara tersebut dapat mensejahterakan rakyatnya. Itulah negara minoritas Islam yang lebih dulu merealisasikan ajaran Islam dan terbukti bisa mensejahterakan rakyatnya. Silahkan pembaca membandingkan sendiri dengan kondisi riil di negeri kita yang dikenal sangat kaya sumber daya alam, berpenduduk mayoritas muslim tetapi masuk dalam jajaran negara termiskin dan terkorup. Imbasnya dapat kita lihat dengan nyata, yaitu meningkatnya angka kemiskinan, bertambahnya jumlah pengangguran, juga semakin besarnya tindak kriminal. Semua ini karena kurangnya kepedulian terhadap sesama juga kurangnya rasa kebersamaan. Hal ini diperparah lagi oleh sistem tatananan global yang serba menguntungkan Negara Pertama (negara maju).
         Oleh karena itu,  penting sekali penanaman kembali nilai-nilai luhur dalam Islam khususnya kesosialan agar masyarakat tidak lagi menomorsatukan kepentingan pribadi.  Dengan demikian, muslim tidak lagi mengalami krisis jati diri. Untuk hal ini, sangat dibutuhkan peran para tokoh masyarakat, karena merekalah yang menjadi panutan masyarakat. Jangan hanya sekedar berpidato dan berkhotbah saja tetapi juga disertai dengan usaha perealisasian dari pidato dan khotbahnya tersebut. Besar harapan kalau agama Islam di negeri ini tidak hanya menjadi saksi sejarah dari puing-puing rakyat yang terjarah, melainkan menjadi solusi atas segala gerah demi terciptanya puing-puing maslahah.    

Kepalsuan Jati diri

Jika kau siapa
Maka Kau bukan apa-apa
Jika kau siapa
Pasti Kua bukan apa-apa
Karena kau toch Cuma manusia………


Pada rubrik pembaca Harian kompas terekspresi nada kesal. Dicurhatkan seorang Menteri –entah siapa—marah ketika terkana protap standar Bandara. Tampak merasa diremehkan. Menteri kok dicurigai, kira-kira begitu pikirnya. Jelas terlihat bersikap Mentang-mentang. Kemarahan meledak, sambil menanyakan nama petugas. Seorang Perempuan, petugas bandara yang berusaha profesional, salah tingkah. Sang Ajudan bingung bersikap. Aneh bukan.

Begitulah sekemulit gambaran ketika seseoang lebih menonjolkan “keapaannya” dari pada “kesiapaannya”. “keapaan” adalah atribut dunia. Dia akan bermakna jika sejalan dengan “kesiapaan” yang menjadi hakekat. “Apa” adalah lekatan yang mencerminakan fungsi terapan. Pendeknya merupakan identitas kedua manusia.

Identitas kedua manusia adalah fana. Bukan segalanya. Ketingginan kemulyaan manusia bukan tidak tersandarkan padanya. Ketinggian identitas kedua adalah konstruk. Bukan untuk dibanggakan. Sebaliknya dijalankan dengan amanah.

Jika anda dokter. Dokter adalah “keapaan” yang anda sandang. Demikian juga Presiden., kyai, ustadz, menteri, pedagang, petani dan lainya. Perjumpaan “keapaan” terbingkai moralitas dunia yang arbitrer. Dan yang pasti kalau tidak hati-hati penuh jebakan nafsu.

**

Jebakan nafsu. Inilah yang berbahaya. Pertemuan manusia yang terbingkai “keapaannya” bisa jadi bukan pertemuan ketulusan. Para Bupati akan takut tidur dihadapan Presiden lagi walaupun terkantuk hebat. Ketabahan untuk tidak tidur mungkin bukan ketulusan.

Ketulusan lahir dari perjumpaan “kesiapaan”. Seorang pejabat yang menonjolkan “kesiapaannya” tidak akan menuntut dilayani rakyatnya. Justru berkorban dan menjadi pelayan rakyat dengan kesungguhan. Kesadaran terhadap “kesiapaan” membuatnya rendah diri dan tahu diri.

Krisis identitas inilah yang sekarang menjadi penyakit kronis di negeri ini. Seolah banyak orang berlomba menonjolkan “keapannya” untuk memperoleh kesenangan duniawi. Kemanusiaannya diperbudak “keapaannya”. Yang tragis hal ini sudah merambah tokoh agama. Bukankah sekarang banyak Ulama tereduksi kemanusiaanya ?.

“Kita kan pejabat mestinya dilayani dong”. “Kita kan dewan yang terhormat masak dilecehkan oleh SLANK”. “Kitakan para ulama mereka harus tunduk pada kita, kalau enggak bikin partai baru saja”. Asumsi-asumsi “keapaan” yang penuh nafsu. Maka tidak aneh jika saat ini “keapaan” hanya jadi komoditas. Pemuas nafsu. “keapaan” adalah start dan finish kehidupan mereka.

**
Karena menjadi komoditas yang menghadirkan kenikmatan dunia, “keapaan” menjadi tujuan. Seluruh energi hidup diarahkan  mengejar identitas kedua. Kemudian berhenti. Terusnya “keapaan’ menjadi tentara yang melayani rajanya yang berbentuk keinginan-keinginan duniawi. Yang mendapat kekuasaan digunakan untuk kenyamanan pribadinya. Yang  punya wibawa menggenggam hati orang lain untuk dengan sukarela dan kepasrahan melayaninya.

Karenanya, “keapaan” juga mengenal trend. Ketika Ulama menjanjikan, berbondong orang ingin disebut ulama. Ketiga guru menggiurkan, tak terbayangkan profesi yang dahulu sarat dengan keikhlasan kini menjadi rebutan. Yang paling membahayakan jika semua itu bersembunyi dibalik nilai-nilai keluhuran.

Kepalsuan ini adalah racun. Ia sudah  merasuk akut dalam budaya , tata dan sistem sosial kita. Mulai dari pendidikan kita yang telah menjadi berhala. Sistem ekonomi dengan logika untung rugi. Politik yang oligarki. Pendeknya, Budaya dan tata sosial kita yang tidak memberi tempat pada rasa kemanusiaan.

**


Teringat Nabi. Meski dijamin masuk syurga, beliau tetap beristighfar minimal 70 kali sehari. Kenabian yang merupakan “keapaan” yang melekat pada diri Nabi tidak mereduksi “kesiapaannya” sebagai hamba Allah.

Mari sejenak kita lepaskan “keapaan” kita. Kembali ke fitrah menjadi manusia. Menyapa sesama dengan kemanusiaan kita. Dengan ketulusan dan bukan dengan kepalsuan. Wallahu a’lam bi asshowab.

UANG ATAU ILMU?; Melongok Fenomena Kapitalisasi Pendidikan

Hidup di dunia dan di masa yang sangat bergantung dengan uang memang bukan hal yang mudah. Semua menganggap segala hal wajar. Wajar merampas hak milik orang lain, wajar untuk korupsi, wajar berangkat pagi pulang larut malam untuk menghasilkan rupiah, bahkan menjual kehormatan juga di anggap wajar. Semua kewajaran tersebut sungguh sangat menyimpang dari substansi manusia sendiri karena yang pantas dianggap wajar adalah dalam berbuat kesalehan baik yang bersifat spiritual, sosial, maupun intelektual.
           
Disorientasi Pendidikan
Bias dari kewajaran tersebut, semua orang dewasa ini menggunakan segala cara untuk menghasilkan uang. Tidak luput, pendidikanpun dijadikan objek dari ambisi tersebut. Ambisi yang hanya bertujuan mendapatkan limpahan materi belaka. Ambisi yang sama sekali tidak bertujuan merubah sang murid untuk dijadikan lebih baik tapi malah bertujuan merubah dirinya sendiri yang asalnya kekurangan menjadi bergelimangan rupiah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ruh dan jiwa dari pendidikan kita adalah uang. Fenomena di sekitar kita menunjukkan bahwa yang mencari uang lewat pendidikan bisa bersifat individu maupun kolektif. Ironis sekali ketika pendidikan menghalalkan segala cara untuk menghasilkan uang. Seperti jual beli ijazah aspal (asli tapi palsu). fenomena ini kerap kita jumpai pada waktu-waktu menjelang pemilihan baik itu pemilihan Bupati, DPR, DPD, bahkan Kepala Desa. Tuntutan harus punya ijazah seperti ijazah SMA dan S1 membuat para calon berani bayar berapapun. Pendidikan seakan-akan dijadikan ladang -dalam hal ini murid sebagai benihnya- untuk melancarkan misinya yakni dengan mendapat bantuan dari pemerintah. Siswa tidak dijadikan subjek untuk dipintarkan melainkan dijadikan objek untuk mempermulus proyek mereka.
 Pendidikan seakan-akan memang sudah diproyeksikan untuk dijadikan sumber pokok untuk menghasilkan uang. Jangan heran bila sekolah favorit yang menyediakan bayaran yang tinggi bagi pengajarnya banyak dilamar olehpara calon tenaga pengajar. Lain halnya dengan sekolah yang pas-pasan, sekolah pinggiran dan sekolah yang hanya mampu membayar sedikit, maka sekolah tersebut akan sepi pelamar untuk jadi guru. Kalau begitu, bisa ditebak, sekolah yang mampu bayar mahal dan yang mampu memberi fasilitas mewah pada pengajarnya, maka sekolah tersebut akan mendapatkan guru berkualitas. Sedangkan sekolah yang miskin dan membertikan fasilitas yang pas-pasan kesulitan untuk mendapatkan guru yang berkualitas.
Hingga saat ini, sekolah berkualitas memang identik dengan biaya yang tinggi. Guru berkualitas mahal. Fasilitas pendidikan yang memadai juga membutuhkan biaya yang tidak murah. Untuk mendapatkan itu semua, murid harus menanggung costnya dengan membayar mahal. Dengan demikian, sekolah yang berkualitas dan berfasilitas lengkap hanya dapat di akses oleh para keluarga berada di daerah perkotaan. Sedangkan orang yang kurang mampu hanya dapat belajar di sekolah yang “ecek-ecek”. Gara-gara uang anak desa dan orang miskin dimarginalkan dalam pendidikan.   Di sini tampak ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan.
            Jangan sekali-kali kita bermimpi untuk memperbaiki pendidikan kita yang carut marut ini. Antara kurikulum dan apa yang diujikan pada ujian akhir saja tidak ada korelasi sama sekali. UAN seperti menjadi lembaga yang terpisah dari sekolah karena mengabaikan keunikan yang terdapat pada setiap sekolah di daerah yang berbeda. Pun mengabaikan kenikan setiap peserta didik yang  dianugerahi talenta yang berbeda. Pendidikan kita pun terus tertinggal di bawah negara lain.
            Di sinilah terlihat orientasi pendidikan yang tidak jelas, bahkan sampai ke tingkat kebijakan negara. Negara yang semestinya menfasilitasi pendidikan agar dapat berkembang dan dapat diakses oleh seluruh warga negara tanpa memandang kelas sosial ekonomi, justru memasung kreatifitas dan menyuburkan kapitalisasi pendidikan.
           
Melacak Kembali Ruh Pendidikan
Imam Al-Ghazali dalam ihya’ menerangkan bahwa ulama buruk (ulama’ suu’) adalah orang yang orientasi akhirnya adalah kenikmatan dunia. Ilmu menjadi instrumen di bawah kendali kuasa hasrat. Dalam bahasa Gramsci, ulama yang demikian senafas dengan intelektual tukang; pengabdian bukan diarahkan pada transformasi sosial melainkan pada kelas borjuis. Sang Hujjatul Islam lebih lanjut menyatakan sosok yang demikian paling disiksa dihari kiamat nanti. Ditegaskan juga, demikian Imam Hasan, ulama’ di siksa karena redupnya hati dan redupnya hati itu karena mencari dunia lewat amal akhirat. Sudah jelas para ulama’ sufi dahulu kala sangat tidak setuju dengan kapitalisasi pendidikan karena substansi dari pendidikan sendiri adalah memanusiakan manusia bukan malah menguangkan manusia.
            Hakekat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan mengubah manusia yang mulanya bodoh jadi pintar, yang mulanya kurang ajar menjadi terpelajar dan mempunyai etika dan keimanan  yang kokoh. Singkatnya, pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia dan sebagai pengubah dari hal yang buruk menuju kearah yang lebih baik. Semua hal tersebut bisa tercapai apabila stakeholder dalam pendidikan, utamanya guru, bisa mendidik dan mengajar siswanya ke arah yang lebih baik. Tidak cukup mendidik dan mengajar saja, guru harus bisa menjadi uswah bagi siswanya. Syair arab menyebutkan: kaifa yastaqimu al-dzillu wa al’udu a’waj? Bagaimana bayangan bisa lurus  bila tongkat yang menimbulkan bayangan bengkok? Ya…. Bagaimana guru bisa memperbiki murid apabila gurunya sendiri kacau dan bernaluri kapitalis. Bukan hanya guru yang harus berbenah, kurikulumpun harus di rombak total.
Kurikulum yang kita rasakan ini tidak ubahnya kurikulum militer yang harus memenuhi target UAN dengan bagaimanapun caranya. Dewasa ini, keberhasilan pendidikan dinilai dari keberhasilan dalam UAN tanpa menghiraukan apakah anak didiknya menjadi mafia jalanan, sama sekali tidak saleh baik dalam kontek sosial maupun spiritual. Mereka masih merasa bangga meski anak didiknya tidak taat beribadah dan tidak saleh dalam tatanan sosial. Yang ada di benak mereka adalah bagaimana anak didiknya lulus UAN dan dapat nilai bagus, bagaimanapun caranya.
Penulis berpendapat, untuk memperbaiki pendidikan kita harus memurnikan kapitalisasi dalam pendidikan dan pihak pendidikan sepatutnya tidak memilah-milah ilmu, baik itu ilmu agama maupun umum. Karena Islam sendiri menganut sistem keseimbangan dalam hidup dalam artian melakukan hal yang terbaik untuk dunia dan melakukan yang terbaik juga untuk akhirat. Kalangan sufi pernah menuturkan ”lakukan untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan lakukanlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”. Penulis berpandangan tidak ada cara lain untuk melakukan yang terbaik kecuali dengan mempelajari ilmu dengan sepenuh hati, baik itu ilmu dunia dan akhirat.
Oleh karena itu penulis sangat mendukung sekali dengan didirikannya SMK di pesantren RU I, karena penulis menilai pendidikan tersebut out put-nya tidak hanya menjadikan santri yang berwawasan agama saja melainkan juga membekali para santri dengan ilmu teknologi. Karena menurut pandangan penulis lebih baik menjadi ulama yang tidak malu-malu bekerja di bengkel elektronik dan bahkan menjadi petani dari pada menjadi ulama yang hanya berpangku tangan menunggu tamu yang rela memberi uang padanya. Kalau kita fikir ulang, adanya SMK sungguh langkah yang pontensial untuk mengurangi ulama’ suu’ di dunia ini, bukan?.

Merindukan Santri yang Melek Politik

Fenomena PKB saat ini menjadikan citra politik santri terpuruk. Visi besar PKB tentang Demokrasi dan Pluralisme terkubur oleh perilaku politik yang tidak dewasa oleh kadernya. Akibatnya, politik santri yang pada sejarah Indonesia menorehkan tinta emas, akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam yang negatif. Apa yang terjadi dengan santri kita dengan kesadaran politiknya ?
Nah, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengajak santri menjadi politisi atau terlibat secara langsung dalam percaturan politik praktis. Pun tidak berniat untuk mengajarkan santri berebut kekuasaan. Penulis hanya ingin menumpahkan keresahan tentang betapa kebutaan kita akan politik, ingin berbagi tentang arti pentingnya politik, juga tentang efek politik dalam kehidupan, tidak hanya dalam kehidupan publik tapi juga dalam sisi hidup kita yang paling privat (pribadi).
Politik?
Membicarakan politik dalam proses pendidikan pesantren tidak dianggap penting atau bahkan tabu. Terlihat dari literatur yang diajarkan di pesantren tidak bersentuhan dengan  tema-tema politik. Tak perlu jauh-jauh, di pesantren kita saja, literatur yang dibaca tidak jauh dari ilmu alat, fiqh atau tasawwuf. Literatur Islam klasik yang membicarakan tentang politik, semisal al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi tidak terlalu dikenal di kalangan pesantren karena memang tidak dianjurkan untuk dikaji, sebagai literatur sekunder sekalipun.
Hal tersebut tidak dapat terlepas dari adanya anggapan bahwa politik adalah cara memperebutkan kekuasaan. Bahwa berbicara tentang politik berarti berbicara tentang kekuasaan negara dan birokrasi. Asumsi tersebut tidaklah salah, tapi tidak sepenuhnya tepat. Politik tidak hanya membicarakan hal tersebut tapi, jauh lebih mendalam, politik juga menyentuh bahkan menentukan persoalan-persoalan yang paling pribadi.
Manusia adalah “zoon politicon” makhluk berpolitik, tidak bisa menghindari politik. Sebuah ungkapan lain menyebutkan “Personal is political”. Kalimat tersebut bukan sekedar jargon, tapi memiliki makna yang dalam. Bahwa setiap orang adalah politis. Setiap diri orang memiliki posisi politis, memiliki kepentingan politis, dan digunakan untuk kepentingan politik. Dengan kata lain setiap individu adalah subjek sekaligus objek politik. Contoh yang paling sederhana; seorang remaja putri bernama A ingin berkulit putih, berpakaian seksi, menggunakan bahasa “lu gue”, bangga bila jalan-jalan dan belanja di mall. Sepintas lalu, hal tersebut dianggap wajar karena lingkungannnya mengajarkan demikian. Bila dilihat dari sisi agama dia mungkin dianggap minus. Namun dilihat secara kritis, dia adalah korban politik.
Politik apa? Bila ditelusuri, Si A tersebut korban bahasa iklan bahwa orang cantik adalah yang berkulit putih, memiliki tinggi badan tidak kurang dari 160 cm, dengan berat badan tidak lebih dari 45 kg. Akhirnya dia membeli segala macam produk pemutih dan peninggi badan, obat pelangsing dan sebagainya. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja si pembuat iklan yang tak lain perusahaan besar yang memproduksi kosmetik dan obat-obat kecantikan, serta pemilik mall-mall yaitu para konglomerat yang memperoleh modal dengan cara kongkalikong dengan penguasa. Dalam diri si A tersebut paling tidak ada empat kepentingan politik yang bermain, yaitu:
Pertama, politik budaya. Budaya adalah bentukan manusia berdasarkan kebutuhannya. Budaya belanja dan jalan-jalan si A di mall untuk membeli kosmetika dan mengikuti mode dilakukan karena dia merasa butuh untuk menunjang ke-PD-annya. Persoalannya adalah kebutuhan itu ternyata juga diciptakan dan dijejalkan dari luar; dari iklan, konsep kecantikan serta kepercayaan diri yang disandarkan pada materi. Tanpa sadar ia menjadi korban dari hegemoni politik budaya.
Kedua, politik media. Penanaman budaya tersebut dilakukan melalui media yang tiap hari dilihat dan disaksikan oleh mata setiap orang, seperti televisi, media cetak, radio dan sebagainya. Media-media  berlomba mendapatkan iklan, karena semakin banyak iklan akan semakin pemasukan yang diperoleh untuk biaya kelangsungan medianya.
Ketiga, politik ekonomi. Semua itu berujung pada politik ekonomi. Penjajahan saat ini bukan penjajahan politik pemerintahan tapi penjajahan ekonomi melalui politik ekonomi. Bukan satu negara menjajah negara yang lain, tapi TnCs
Keempat, politik kebijakan negara, yaitu ketika negara memutuskan memberikan modal pada para pengusaha untuk membangun mall-mal di berbagai daerah tanpa mempertimbangkan tingkat kebutuhan maupun kondisi ekonomi rakyat kecil. Yang dibangun bukan hanya gedung mall, tapi juga pola pikir dan gaya hidup masyarakat.
Satu contoh yang sudah massif di depan mata kita adalah HP (Handphone). Kebutuhan akan HP menjadi sulit dihindari karena alasan efisiensi dan efektifitas yang ditanamkan oleh pola pikir modern. Di kalangan tradisionalpun kebutuhan itu tumbuh subur karena image. Akhirnya semua orang menjadi butuh HP karena tanpa HP ia akan tertinggal banyak informasi. Penulis sendiri mengalami ketika masih kuliah di Jogjakarta. Kelas perkuliahan dikendalikan dengan HP. Jika dosen berhalangan hadir maka cukup mengirim SMS kepada semua anggota kelas. Penulis yang tidak memiliki HP akhirnya sering “kecele” karena hadir di kelas seorang diri atau penulis akan absen di kelas yang diadakan secara mendadak juga melalui HP. Karena itulah akhirnya penulis mau tidak mau harus memiliki HP (meskipun uang yang dimiliki pas-pasan) agar tidak ketinggalan pelajaran. Penulis sadar bahwa dengan memiliki HP penulis adalah korban politik ekonomi yang mau tidak mau harus terus membeli pulsa agar nomor tidak hangus meskipun kondisi keuangan sedang sempit. Seperti itulah politik mempengaruhi pola pikir, cara bertindak, bahkan tubuh manusia sendiri, dengan disadari atau tidak.
Kenapa santri harus melek politik?
Paparan di atas dapat kita tarik pada kehidupan santri yang notabene adalah manusia. Setiap santri adalah individu yang berarti merupakan subjek sekaligus objek politik. Sebagai subjek politik, setiap santri memiliki kepentingan untuk keberlangsungan dan eksisitensi dirinya. Sementara sebagai objek politik --seperti si A yang menjadi korban tanpa sadar atau penulis sendiri yang menjadi korban dengan penuh kesadaran-- dalam keseharian santri pengaruh politik dapat dilihat secara kasat mata. Mulai dari kepentingan politik yang paling kecil, seperti kepentingan perorangan, hingga politik kebijakan negara.
Yang kedua, dalam fakta sejarah, Islam tidak pernah lepas dari politik. Dalam menyampaikan syiar Islam, nabi saw. juga menggunakan politik, seperti da’wah bi al-sirr ketika masih lemah hingga da’wah bi al-jahr ketika posisinya sudah menjadi kuat. Terlepas dari bahwa metode itu adalah wahyu, politik juga telah digunakan oleh Junjungan kita itu. Begitu juga dalam dinamika perjalanan selanjutnya, perkembangan Islam sangat lekat dengan politik.
Yang ketiga, santri juga merupakan sekelompok orang yang memiliki posisi politik yang penting di mata kekuasaan. Hal ini terbukti sejak masa penjajahan asing di Indonesia, pesantren adalah kekuatan yang sangat diperhitungkan. Begitu juga pasca penjajahan asing, pesantren memiliki suara yang sangat diperhitungkan di panggung politik negara.
Tujuan santri melek politik?
Seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, tujuan santri melek politik bukan untuk ikut-ikutan berebut kue kekuasaan sebagaimana yang mengemuka belakangan ini. Tujuannya adalah agar; pertama, santri mengetahui posisinya secara politik, terutama di hadapan kekuasaan (sosial, ekonomi, budaya, politik). Ketika seseorang sudah tahu posisinya maka ia akan memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak dapat lagi diperalat oleh kekuasaan. Kekuasaan ini, sekali lagi, tidak hanya kekuasaan yang dimiliki oleh negara dan birokrasi, tapi juga kekuasaan-kekuasaan simbol yang kita lahap setiap hari, setiap saat. Bukan hanya kekuasaan yang menggunakan pemaksaan dan kekerasan tapi juga kekuasan yang halus (hegemonik).
Kedua, Tahu bagaimana menentukan sikap dan kemana harus berpihak. Ketika kita sudah tahu siapa yang menguasai siapa, maka kita akan tahu siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Dengan demikian kita juga tahu kepada siapa harus berpihak. Pemihakan ini bukan lagi pemihakan yang naif tapi pemihakan secara sadar karena diawali dengan pembacaan dan analisis yang kritis.
Ketiga, Membangkitkan semangat untuk melawan. Perlawanan di sini tidak identik dengan perlawanan secara fisik. Perlawanan bisa diartikan dengan ghirah untuk merubah keadaan. Perlawanan yang paling efektif justru lahir dari perlawanan yang menggunakan simbol-simbol. Dalam sebuah novel karangan Dan Brown yang berjudul Malaikat dan Iblis disebutkan bahwa musuh yang paling berbahaya adalah musuh yang diremehkan.  
Bagaimana agar santri melek politik?
Tidak ada kesadaran yang tumbuh dari kebodohan. Segala jenis kesadaran hanya dapat muncul dari pengetahuan. Karena itu kunci agar santri dapat melek politik adalah menanamkan pengatahuan. Pertama, Penanaman dasar pengetahuan agama yang kuat dan luas. Hal ini tentu saja tidak cukup dengan mempelajari bahasa dan fiqh saja, tapi juga tafsir, metodologi studi agama Islam serta penanaman etika (atau lebih tepatnya) moral.
Kedua, Pengetahuan umum yang memadai terutama pengetahuan sejarah (baik sejarah Islam maupun sejarah Indonesia) dan pengetahuan tentang realitas masyarakat. Dengan belajar sejarah kita jadi tahu asal diri, kita juga tahu tentang asal mula munculnya suatu realitas. Hal ini menjadi penting untuk menentukan langkah yang akan diambil. Namun hal ini harus dibarengi dengan cara pembacaan yang kritis sehingga tidak menciptakan musuh-musuh atau korban-korban yang keliru. Karena itu penanaman perspektif kritis dalam membaca realita menjadi keharusan yang ketiga.
Yang ke empat, penanaman pengetahuan politik dan kewarganegaraan (civic education) bagi santri. Karena bagaimanapun, pada level politik negara, santri adalah subjek sekaligus objek politik yang harus tahu kewajiban dan, terutama, hak-haknya.
Dengan pengetahuan dan kesadaran, maka diharapkan santri memiliki visi dan karakter yang kuat dalam mengarungi perubahan. Terlebih ketika santri harus terlibat dalam politik praktis (kekuasaan negara). tidak seperti saat ini, santri yang masuk dalam politik justru terseret dalam arus perebutan kue kekuasaan sementara tugas awal sebagai pemegang amanah rakyat terabaikan.
Last but not least, keterbukaan pesantren terhadap wacana-wacana baru sudah tidak dapat dihindari lagi agar pesantren tidak lagi menjadi katak dalam tempurung. Perubahan  dalam berbagai aspek saat ini (terutama tekhnologi beserta imbasnya terhadap kehidupan dan perilaku masyarakat) sudah berlangsung dalam hitungan detik dan tidak dapat lagi direm. Hal itu tentunya tidak dapat lagi dihadapi oleh pesantren hanya dengan satu sudut pandang tapi harus dilihat dari berbagai perspektif, salah satunya adalah perspektif politik. Dengan begitu pesantren tidak hanya akan menghakimi tapi juga dapat memahami dan memberikan solusi yang tepat. Dengan sikap demikian, maka dapat dipastikan bahwa pesantren akan kembali menemukan ruh awalnya sebagai motor penggerak umat di Indonesia.