Bagaimana pandangan Bapak tentang konsep kesalehan dalam agama Islam ?
Bila ada anak yang baru lahir, kerabat dan teman sejawat biasanya memberi selamat dan mendoakan agar menjadi anak saleh atau salehat. Namun apa maksudnya, kita semua--pemberi maupun penerima doa--- jarang memikirkannya. Mungkin inilah salah satu ‘tatanan’ yang sudah tidak bermakna (meaningless) karena sudah terlalu sering kita ucapkan. Ucapan ‘semoga menjadi anak yang saleh’ tidak lagi menggetarkan. Daripada ‘semoga menjadi anak soleh’ lebih baik kita doakan ‘semoga menjadi rahman dan rahim lahir batinnya’.
Menjadi rahman dan rahim itulah inti kesalehan dalam Islam. Menjadi rahman dan rahim artinya menjadi lembut, santun, sayang dan cinta kepada Allah, kepada rasulnya dan makhluk Allah. Makhluk Allah itu meliputi semua manusia—apapun latar belakang sosial dan agamanya--, tumbuhan, binatang dan lain-lain yang dikategorikan benda hidup serta batu, kertas, pensil, dan lain-lain yang dikategorikan benda mati. Itulah mengapa kita tiap hari mengucapkan bismillahi ar-Rahmani ar-Rahimi. Menyembah dan syukur pada Yang Maha Rahman dan Rahim agar pertama kita tidak menjadi penyedih karena yakin dengan Rahman dan Rahim Allah dan berikutnya mensifati rahman dan rahim itu dalam kehidupan kita sehari-hari.
Ada yang memilah antara kesalehan sosial dengan kesalehan ritual. Adakah dimensi yang menghubungkan antara keduanya? Bagaimana menjelaskan korelasi antara kesalehan sosial dengan konsep keimanan dan ketauhidan?
Menjawab pertanyaan anda yang mendalam, lebih baik menggunakan perumampamaan. Metafor. Kalau pohon pisang dibelakang rumah kita tidak berbuah, tentu kita akan menebang dan menggantinya dengan yang baru. Demikian juga ibadah. Bila tidak berbuah, ibadah juga harus kita tebang, kita ganti yang baru. Apa buah ibadah: semakin menjadi rahman dan rahim. Artinya menjadi santun, penyayang, lembut hati, memahami perasaan orang lain, tidak mementingkan kepentingan sendiri, mengakui kesalahan dan peduli dengan masalah masyarakat agar yang lemah (mustadh’afun) bisa berdiri tegak, agar yang tidak mampu bersuara mampu mengatakan isi hatinya, agar yang sedih bisa gembira dan seterusnya.
Kalau hal seperti ini belum berbuah mungkin ada yang salah dengan ibadah kita. Apa sebab tidak berbuah karena bisa jadi pohon ibadah tidak ada akarnya. Kalau pohon berakar dibumi, ibadah akarnya di hati atau batin. Allah dalam al-Quran sering mengingatkan ‘celakalah orang yang beribadah namun hatinya lupa’. Artinya ibadah seharusnya menjadi aktivitas batin, bukan aktivitas lahir. Ibadah seperti itu harus diganti bibit baru, yang ditanam dalam batin kita.
Jiwa ibadah seperti ini adalah keyakinan tidak pernah berpisah dari Allah. Kemanapun dimanapun dia akan merasa selalu bersama dan ‘melihat’ Allah. Buahnya seperti ini adalah sifat rahman dan rahim karena dirinya tidak pernah memandang dirinya lebih tinggi dari yang lain, peduli dengan masalah sekitarnya dan menjadi orang yang tenteram (mutmainnah) dan selalu gembira karena yakin dengan Rahman Rahim Allah. Inilah tauhid yang sebenarnya.
Selama belum ada sifat rahman rahim ini tauhid kita hanya tauhid-tauhidan saja. Kelihatannya saja tauhid, tapi dalamnya kosong. karena tauhidnya tidak ada akarnya, maka tidak ada buahnya. Oleh karena itu dalam situasi seperti itu wajar, gembar-gembornya masyarakat Muslim, teriaknya Allahu Akbar, tapi korupsi merajalela.
Dalam konteks ketauhidan, pengibadah lahir---yang mungkin saja kita didalamnya---yang tidak peduli dengan masalah social tidak lebih baik dari mereka yang jarang beribadah, namun memiliki kepedulian sosial tinggi.
Di era globalisasi saat ini, apa saja yang yang musti diperhatikan oleh umat Islam agar ajaran tentang kesalehan sosial menemukan relevansinya ?
Dunia kita tempat hidup sudah berubah. Kalau jaman orang tua kita, TV hanya ada TVRI, sekarang ada puluhan stasiun TV. Kalau dulu telepon genggam barang mewah yang hanya dimiliki orang berduit, sekarang hape dimana-mana. Hape menjadi pertanda ketinggalan jaman atau tidak.
Disamping aspek positif seperti teknologi komunikasi yang semakin murah dan akses informasi yang semakin mudah, globalisasi juga menggandeng sejumlah dampak negative yang harus kita bayar mahal. Misalnya tambahnya kemiskinan, biaya hidup yang semakin mahal, suburnya konsumerisme, menurunnya solidaritas antar sesama dan semakin menguatnya fundamentalisme dalam beragama .
Semakin banyak orang susah, namun semakin sedikit yang semakin peduli. Dalam suasana seperti ini penegasan dan pengejawantahan sifat rahman dan rahim semakin relevan. Karena dengan menumbuhkan sifat dan sikap rahman rahim kita bisa mengatasi masalah solidaritas sosial di satu sisi dan masalah fundamentalisme agama di sisi lainnya. Dengan niat dan ikhtiar seperti ini diharapkan tercipta masyarakat yang rahman dan rahim.
Setujukah Bapak kalau hari ini, bangsa kita yang mayoritas muslim tertinggal dan jauh dari kemakmuran ? Kalau setuju apa penyebabnya ?
Bangsa kita mundur karena kita—dalam kepemimpinan maupun pendidikan--- secara umum kurang menghargai pengalaman ‘manusia’ (an-Nas) yang unik. Manusia adalah makhluk Allah tertinggi dibanding bintang, binatang, bahkan malaikat karena dianugerahi akal, hati dan ruh. Akal membuat kita mampu berfikir, hati mencintai dan ruh dari Allah yang suci. Ketinggian kedudukan manusia ini ditegaskan berkali-kali dalam Islam diantaranya: membunuh satu manusia sama dengan membunuh semua manusia dan dalam riwayat Isra Mi’raj diceritakan Jibril tidak mampu lagi mengantarkan Muhammad menemui Yang Maha Kuasa. Artinya manusia mampu mencapai kedekatan dengan Allah yang tidak bisa dicapai malaikat. Oleh karena itu Allah memerintahkan kita menghargai setiap manusia—karena pengalaman unik mereka. Pengalaman yang inheren dengan kemanusiaan kita.
Akibatnya kita banyak menganggap yang dari tempat lain lebih baik, lebih modern. Kepemimpinan juga kurang menghargai pengalaman sosial, politik maupun ekonomi masyarakat yang dikelolanya. Asal kalau diambil dari barat pasti lebih baik.
Dalam hal keagamaan juga demikian. Keislaman hasil pengalaman bangsa kita yang lebih sesuai dengan budaya juga dianggap kurang islami. Kalau sudah diambil dari Timur Tengah dianggap lebih baik. Padahal keislaman yang tumbuh disini adalah keislaman yang tumbuh berkembang ditanah air adalah keislaman yang tumbuh dan berkembang dalam hati dan sanubari ulama kita terdahulu. Sedangkan hati dan sanubari yang tulus akan selalu mendapat hidayah dari Allah.
Pendidikan juga menganggap sumber pengetahuan adalah buku, sedangkan anak didik dianggap tidak mengerti apa-apa. Seperti gelas kosong yang harus diisi air. Padahal manusia berhutang pada anak-anak hal terbaik yang bisa mereka berikan. Padahal manusia—dengan batinnya—mampu menerima hidayah, pelajaran dan pemahaman dari Allah.
Akibat dari proses yang demikian, hati –pusat rasa keindahan dan kepedulian—menjadi mati.
Dan apa yang harus diperbuat umat Islam untuk mengaktualisasikan kesalehan sosialnya ?
Apa yang harus diperbuat? Mengaktualisasikan sifat dan mentalitas rahman dan rahim yang menjadi basis kepedulian social. Yang menjadi basis penghargaan terhadap pengalaman unik setiap manusia. Yang menjadi basis dari kemauan untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Ini akan menghidupkan hati. Ini akan menghidupkan kepedulian social.
Perlukah strategi perjuangan misi sosial saat ini harus menguasai institusi-institusi publik seperti negara dan lain-lain ?
Mungkin tidak perlu ndakik-ndakik seperti itu. Semuanya tergantung konteks dan situasi sosialnya. Kalau dalam pilkada, ada kandidat yang bermisi sosial tinggi, kemudian didukung tentu bukan gagasan yang buruk. Juga sudah menjadi kewajiban kita untuk menyiapkan penerus masa depan dengan kemampuan leadership dan komitment social yang tinggi dalam pemerintahan maupun kemasyarakatan.
Namun melakukan sesuatu yang baik tidak perlu menuggu besok atau dengan yang besar-besar saja. Lakukan saat ini, dari diri sendiri, dari yang paling kecil dan dari yang sederhana. Disini. Sekarang juga dan Dari diri sendiri. Misalnya bagaimana menjadi rahman dan rahim terhadap diri sendiri, terhadap teman, terhadap keluarga. Dalam konteks globalisasi dan krisis moneter, kita bisa memberi contoh dan mendidik masyarakat agar hidup dari lingkungannya misalnya menghidupkan pekarangan dengan sayuran dan buah-buahan. Ini cara sederhana agar kesulitan ekonomi masyarakat semakin teratasi.
Menurut Bapak, siapa musuh utama umat Islam dalam menegakkan misi sosial saat ini?
Musuh umat Islam banyak sekali. Diantaranya, ini dikota-kota biasanya, sikap merasa paling benar dan selamat sendiri. Baru belajar syariat, seolah-olah sudah belajar Islam keseluruhannya. Padahal dari 6 ribuan ayat-ayat al-Qur’an, yang berkaitan dengan hukum hanya ratusan saja, tidak sampai seribu. Artinya mempelajari syari’at saja artinya baru belajar kurang dari 1/6 Islam.
Kedua, kalau ini didesa dan di kota, sikap mementingkan formalitas ibadah, terus bergerak dengan rutinitas itu dan marah bila dikritik. Terus berhaji, sementara anak tetangga makan sehari sekali bahkan tidak bisa bayar ongkos sekolah. Peduli social setahun sekali yaitu bayar zakat saja.
Musuh berikutnya adalah kebodohan, kemiskinan, cinta dunia, keserakahan, konsumerisme, pemerintahan yang tidak bertanggung jawab dan sebagainya.
Bagaimana ajaran Islam mendialektikan konsep kesalehan sosial secara historis dan normatif ? Kemudian bagaimana cara menbaca sejarah tersebut ?
Muhammad adalah sosok yang lembut jiwa, hati dan tutur katanya. Pada beliau, sifat itu adalah buah dzikir dan cinta beliau pada Allah. Perintah ibadah adalah agar kita semakin cinta pada Allah, dan berikutnya cinta itu memancar pada semua makhluk Allah. Cinta pada mahluk yang seperti ini akan semakin menambah cinta pada Allah, bukan malah semakin menjauhkannya dari-Nya. Pembacaan dari sudut pandang lahir batin keagamaan seperti ini tidak ada kontradiksi.
Zakat dianggap sebagai inti dari kesalehan sosial itu.. Pada masa beliau masih hidup zakat adalah sebuah konsep yang emansipatoris. Disaat semua tidak peduli, Rasul mengajarkan bahwa dalam harta kita ada hak-hak orang miskin, anak yatim dan sebagainya.
Jauh setelah wafatnya beliau terutama setelah munculnya paham wahabi, yaitu paham yang mengutamakan arti tekstual al-Qur’an, kedalaman seperti ini menjadi hilang. Maksud ditetapkannya zakat tidak lagi dianggap penting. Nah, kita harus memperhatikan maksud tujuan penetapan zakat itu, zaitu maqashid shari’ahnya. Ini sesuai dengan penegasan Rasul bahwa al-Qur’an mempunyai tujuh makna. Dan untuk mengetahui makna itu bukan hanya bertanya pada sejarah dan tafsir, tapi juga tanyakan pada hatimu, karena al-Qur’an iku jarene mbah-mbah mbiyen tombone ati. Panggonane al-Qur’an itu, oleh karenanya, dihati dalam pengertian yang seluas-luasnya. Bagaimana cara mengamalkan al-Qur’an secara keseluruhan? Mari berupaya menjadi rahman dan rahim.
Inilah inti atau the heart of kesalehan, dan kesalehan of heart. Disanalah kesalehan ritual dan kesalehan sosial berawal dan berakhir.
Penulis, Akti di GARDA BANGSA,
dan sedang menyelesaikan S3 di Canberra Australia.
Interview ini melalui via e-mail.